Sabtu, 04 Juni 2016

Nggak Eman-Eman Sama Duite?

3 Juni 2016,

Bulan ramadhan tahun ini hampir tiba. Bagi sebagian orang, puasa pertama lebih menyenangkan jika bersama di sekitar orang-orang yang tercinta. Di tengah-tengah kebahagiaan dan suka cita menyambut gegap gempitanya bulan yang penuh berkah.

Aku memutuskan untuk pulang kampung Jumat sore, karena minggu depannya kegiatan di kampus hanya minggu tenang sebelum ujian akhir. 

Sebenarnya, aku malas untuk pulang kampung. Aku berniat untuk pulang pada hari Rabu setelah sahur. Uang bulanan, jadwal kuliah pengganti di hari Senin dan Selasa, serta harus mencari tanda tangan dosen untuk melengkapi laporan akhirku yang kurang menjadi pikiran tersendiri untuk menahan diri untuk pulang.

Memerlukan waktu sekitar 2 jam kurang untuk sampai rumah dari kosku. Kupacu motorku dengan kecepatan stabil. Kondisi jalanan yang mulai lengang, cuaca mendung, serta perut lapar membuat genggaman tangan urung untuk mengendurkan gas. 

Aku tidak langsung pulang ke rumah. Hati berniat untuk mampir sebentar ke alun-alun kota. Merasakan enaknya mie ayam bakso yang dijual oleh Pakdheku. Sekedar mampir, basa-basi menanyakan kabar, lalu beberapa menit setelahnya…. “Gaweo mie ayam opo bakso sendiri. Mienya di atas gerobak.”

Ketika sudah sampai, aku hanya lewat di depan warungnya. Melambatkan motor, menoleh sebentar ke arah warungnya lalu tancap gas lagi. Aku urung untuk sekedar mampir. “Ngisin-ngisini minta terus.” kata Ibu kalau tau aku mampir ke warungnya Pakdhe. 

“Pulang lagi, Dek? Bola-bali pulang wae. Nggak eman-eman sama duite?” ucap bapak masih memakai sarung sertai baju kokonya membukakan pintu garasi motor ketika mendengar mesin motor mati. 

Kudorong motor untuk masuk garasi. Lepas helm, jaket, dan penutup muka lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. “Nggak papalah. Pingin puasa pertama di rumah.”

Aku melemparkan tubuh ini ke kasur. Ngguling-ngguling sebentar mencari posisi enak lalu tangan sibuk mencari HP untuk mengirimkan chat-chat ringan sama Sophia. Selang beberapa saat aku ketiduran sangat pulas dengan HP masih mengetikan chat yang masih belum tuntas kuketik. Kecapekan.
Share:

Rabu, 25 Mei 2016

Wajah Mendamaikan Ditengah Lara

25 Mei 2016,

Jadi mahasiswa perantauan dan hidup di kota orang tanpa adanya keluarga memang harus kudu kuat. Kita harus bisa beradaptasi, bergaul dan mencari teman-teman yang bisa kita anggep sebagai saudara sendiri.

Apalagi kalau mengalami sakit parah, kita bakalan kebingungan karena yang diandalkan hanya teman teman seperjuangan. Sama kayak temen sekelasku, Wangi.

Dari hari Selasa, dia udah di opname di rumah sakit gara-gara penyakit anemia dan harus melakukan transfusi darah. Kita sebagai teman sekelas langsung berusaha menjenguk dan mulai bergantian jaga.

Malam ini, gantian aku dan beberapa temanku yang berjaga. Aku berangkat jam setengah 7 malam, menjemput temanku yang juga berjaga lalu langsung tancap gas ke rumah sakit.

"Ruang merak ada dimana, Mbak?" ucapku ketika memasuki lobi dan menanyakan kepada suster yang bertugas di depan dengan sopan.

"Dari sini nanti belok kanan. Mentok. Lalu lurus ke belakang, nanti setelah lewat lapangan ada gedung di sisi kiri, nah ruang merak ada di lantai 3." jawabnya sambil senyun serta tangannya aktif untuk membantu menjelaskan.

"Terima kasih, Mbak."

Ternyata, ketika sudah sampai sana, sudah banyak teman-teman lainnya yang sudah datang menjenguk. Kita berdua langsung masuk kamar, lalu duduk di sekitar ranjang. Wangi juga ikutan duduk, meskipun mukanya masih terlihat pucat.

"Kamu nginep, Hyus?"

"Hooh." jawabku, lalu membuka pintu kamar dan keluar dari kamar. Gerah.

"Kemana?"

"Keluar, cari makan. Nanti aku yang jaga malam. Kalau mau tidur, tidur aja."

Beberapa jam setelah pergi makan, aku kembali ke ruang tersebut. Nunggu lift turun sambil sesekali melirik jam di handphone. "Masih jam setengah 11." gumamku perlahan, lalu pintu lift terbuka.

Sampai kamar, hanya ada beberapa orang yang masih terjaga di depan ruang inap sambil bermain kartu. Aku masuk ke dalam kamar, ada beberapa teman yang tidur dan Wangi sendiri sudah tertidur nyenyak menunjukkkan wajah yang sendu mendamaikan dengan tangan yang masih terdapat infus baru.

Share:

Dari Taman Kanak-Kanak Hingga Penyalur Jasa TKI

24 Mei 2016,

Aku mengambil motorku, mencoba men-starter-nya untuk mulai memanasi mesin. Beberapa lama, kupacu kendaraan yang beberapa minggu ini belum kucuci ke arah kosan teman sekelompok untuk tugas Bahasa Inggris besok pagi. Membuat percakapan Bahasa Inggris untuk dihapalkan dan dipresentasikan ke depan kelas.

Sampai sana, kudapati temanku lagi duduk menghadap laptop dan disampingnya lembar kertas yang sudah terisi kalimat percakapan. Ternyata sudah selesai. Aku males nyatat lagi, kuambil HP dan menyalakan kamera. Selebihnya aku hanya tidur di kamar kosnya.

"Rumah yang besok bakal aku kontrak bulan Juni ternyata udah dilepas ke orang lain." ucapnya sambil sibuk melihat-lihat rumah yang dikontrakan di salah satu toko online.

"Kok bisa? Nggak mbok DP dulu apa?"

"Enggak, yaa mungkin bapaknya lagi butuh duit cepet." jawabnya lagi. Aku melihat-lihat laptop yang ternyata nampilin baris-baris iklan rumah.

Rumah siap di kontrakan. 4 kamar tidur. 2 kamar mandi. Ada halaman luas.... blablabla

"Itu bagus rumahnya, harga nego juga. Lihat foto-fotonya coba." ucapku lalu tak berapa lama, gambar foto rumah yang ditawarkan muncul di layar laptop.

"Bajilak, bekas TK ternyata." komennya pertama kali setelah gambar rumah muncul dan menampilkan bagian depan. Dindingnya ada gambar mural seperti TK pada umumnya dan ada permainan yang biasa kita temukan di TK, seperti jungkat-jungkit, ayunan, hingga bola dunia di halaman depan. Masih komplit.

Rumah dikontrakkan. 4 kamar tidur. 4 kamar mandi. Halaman luas, tidak ada garasi.... blablabla....

"Lumayan itu halamannya buat main badminton. Harganya di goyang aja."

"Hooh, tak bookmark dulu. Halamannya bisa buat main bal-balan pake bal plastik ini. Gawangnya pake sendal." ucapnya sambil tertawa terkekeh. "Motor kalau malam bawa masuk rumah tapi." ucapnya menimbang-nimbang.

"Yaa nggak papa, masukin kamar. Haha.."

Aku tertawa. Lalu mulai sibuk mencari-cari rumah lain lagi untuk di bookmark dan bisa ditanya-tanya lain waktu. Banyak rumah-rumah yang kita lihat-lihat hanya untuk dikomentarin, kayak rumah yang kita sebut bukan mirip sama kontrakan tapi lebih ke penyalur jasa TKI, lalu ada rumah bagi keluarga yang aktif dan dinamis, rumah yang ada kolam renangnya hingga kepikiran dibuka untuk umum saja dengan tarif masuk 3 ribu per orang, lalu entah masih banyak lagi.
Share:

Selasa, 24 Mei 2016

Nggak Secepat Itu, Bu

23 Mei 2016,

Mendekati akhir semester, beberapa dosen mulai melobi mahasiswanya untuk mau mengganti jam mata kuliahnya yang kemaren-kemaren kosong. Seperti mata kuliah Bahasa Inggris tadi.

"Kelas, karena pertemuan selanjutnya kampus akan dipakai untuk persiapan SBMPTN, maka akan diadakan kelas pengganti. Kira-kira kapan kalian ada waktu?" ucapnya setelah hadir dan menandatangi daftar presensi kelas.

Beberapa wajah mulai bingung, menimbang-nimbang waktu yang bisa dipakai untuk pengganti mata kuliah. Ada yang berbisik untuk mengganti mata kuliah minggu ini, daripada harus mengorbankan minggu tenang sebelum UAS 2 minggu lagi.

"Bagaimana kalau Rabu?" lobi dosen sambil melihat sekeliling ruangan. "Ada jam yang kosong?" tambahnya.

"Pagi, Bu."

"Oke, jam mata kuliah pengganti minggu depan diadakan hari Rabu pagi jam 8 minggu ini. Informasi ruangnya dimana nanti menyusul." ucapnya memutuskan, mengambil spidol lalu menuliskan tugas yang harus diselesaikan untuk pertemuan mendatang.

"Nggak secepat itu juga kali, Bu" gumamku pelan.

"Nah, jadi tugas kalian adalah membuat percakapan dengan tema berikut ini. Minimal satu orang 5 kalimat dan maksimal 10 kalimat. Kalimat sapaan seperti hai, good morning atau sebagainya tidak dihitung." ucapnya tegas sambil kembali ke mejanya untuk duduk. 

"Besok Rabu maju ke depan kelas, mempresentasikan percakapan yang dibuat tanpa menggunakan note apapun. Ada pertanyaan?"

Kelas hening.

"Kalau tidak, kelas selesai. Selamat sore." katanya sambil merapikan map dan beberapa alat mengajarnya lalu meninggalkan kelas.
Share:

Jumat, 13 Mei 2016

Nonton Final Tapi Salah Tanggal

12 Mei 2016,

Malam yang dingin tak lantas menyurutkan perut ini untuk berhenti minta diisi. Jam masih menunjukkan pukul setengah 11 malam, tak terlalu larut memang untuk memulai menapakkan kaki keluar dari kosan mencari makan.

"Mie rebus sajalah." batinku seketika sambil menyiapkan dompet dan handphone untuk dibawa menemani mengusir rasa sepi nanti.

Komplek masih ramai, orang-orang dewasa masih berkumpul mengitari meja pingpong. Olahraga yang digemari warga sekitar hingga sering bermain hingga larut malam. "Ndherek langkung, Pak." ucapku ramah sambil menundukkan kepala melewati beberapa orang. Sopan.

"Monggo-monggo, Mas." balasnya cukup ramah, lalu melanjutkan obrolan yang terpotong akibat sapaanku tadi.

Warung burjo yang aku tuju memang dekat dari kos. Tinggal keluar komplek dan letak burjonya persis di samping jalan masuk. Tak ada yang menarik memang, layaknya warung makan burjo pada umumnya. Yang jaga cuma Aa' sama Teteh yang sudah lumayan aku kenal.

"Nonton bola a' entar malem. Final liga eropa." gumamnya sambil meletakkan wajan di atas kompor memunggungiku.

Sebentar aku mengernyitkan alis. Diam berpikir sejenak. "Apa iya final liga eropa entar malem. Kok perasaan baru kemaren semi final." ucapku dalam hati sambil bertanya-tanya penasaran. Tapi bodo amatlah, mungkin aku yang salah tanggal.

"Jam berapa, Aa?" balasku sambil mengambil sprite botol kaca yang ada di susunan rak, diletakkan di meja untuk minta di bukakan tutupnya. "Minta esnya, Aa'." lanjutku lagi.

"Hooh, tadi udah ditayangin iklannya di TV. Asik mah, jadi ada temen begadang sambil jaga warung." senyum dibibirnya melebar ditengah-tengah matanya yang mulai lelah mengantuk jaga warung seharian.

Tak berapa lama, pengunjung lain mulai berdatangan. Beberapa di antaranya anak kos dari seberang komplek. "Aa' entar malem nonton final liga eropa tak?" ajak si Aa' penjaga burjo ke setiap pengunjung yang datang. "Seru nih ntar malem pasti, Liverpool sama Sevilla. Maneh dukung saha?" lanjutnya lagi sambil meletakkan mangkok berisi indomie rebus panas.

Obrolan-obrolan lanjutannya tak begitu aku perhatikan. Aku pindah tempat ke meja yang berada di pinggir jalan. Menikmati bulan sabit yang kadang tertutupi oleh awan yang berparade pulang. Sesekali aku buka handphone, cek email, lalu cek pemberitahuan beberapa sosial media yang ada. 

Lama juga aku makan sambil nongkrong. Sampai ada tulisan di layar handphone yang membuat aku sedikit tersenyum tertahan.

"Ntar malem nonton enggak, Aa? Final liga eropa?" ucap si Aa' entah keberapa kali yang kudengar ke setiap pengunjung warungnya yang datang.

Aku menyahutnya, namun hanya sebatas di dalam hati "Final liga eropanya masih minggu depan, Aa'. Entar malem mah nggak ada apa-apa." 

Share: